GP Ansor Minta Bupati Kupang Tinjau Kembali Rencana Relokasi Warga Pulau Kera di NTT
Sejarah Panjang dan Hak Hidup Warga Suku Bajo Jadi Alasan Utama GP Ansor Minta Dialog Ulang, Bukan Ancaman Relokasi

LABUANBAJOVOICE.COM — Rencana Bupati Kupang, Yosep Lede, SH, untuk merelokasi warga Pulau Kera, Kelurahan Sulamu, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satu yang menyuarakan keprihatinan adalah organisasi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), yang secara tegas meminta Bupati Kupang meninjau kembali kebijakan tersebut.
Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor) Bidang Kelautan dan Perikanan, Ajhar Jowe, dalam pernyataannya kepada media pada Kamis, 1 Mei 2025, menyatakan bahwa pendekatan yang diambil oleh Bupati Kupang belum mencerminkan etika kepemimpinan yang bijak. Ia menilai, belum ada proses dialog yang adil dan partisipatif antara pemerintah daerah dengan warga Pulau Kera, sebelum munculnya ancaman relokasi yang dinilai sangat keras.
“Langkah awal seharusnya dimulai dengan komunikasi dan pendekatan persuasif, bukan langsung menyampaikan ancaman relokasi. Ini sangat kami sayangkan, apalagi menyangkut masyarakat adat yang memiliki sejarah panjang tinggal di wilayah tersebut,” ungkap Ajhar.
Menurut Ajhar, Suku Bajo yang mendiami Pulau Kera memiliki akar sejarah yang sangat kuat. Informasi dari tokoh adat dan tetua masyarakat menyebutkan bahwa keberadaan mereka di pulau tersebut sudah tercatat sejak tahun 1911. Bukti-bukti keberadaan itu antara lain sumur tua, makam tokoh pertama Suku Bajo, dan peninggalan era penjajahan Belanda, yang hingga kini masih dapat ditemukan di Pulau Kera.
Selama Perang Dunia Kedua, Pulau Kera sempat menjadi sasaran serangan penjajah Jepang. Akibatnya, masyarakat Suku Bajo harus mengungsi ke beberapa lokasi seperti Sulamu, Tabulolong, Oeseli, dan Pulau Seraya. Namun pada awal 1970-an, mereka mulai kembali, dan pada tahun 1992 menetap secara permanen setelah terjadinya penggalian kubur leluhur mereka oleh pihak luar, termasuk Pemerintah Daerah dan perusahaan Pitobi.
Pemimpin adat Suku Bajo saat itu, almarhum Naseng Rabbana, mengambil langkah penting untuk membawa kembali masyarakat ke Pulau Kera sebagai bentuk perlindungan terhadap sejarah dan hak hidup mereka.
Dalam dua dekade terakhir, masyarakat Pulau Kera menunjukkan semangat swadaya dalam membangun pemukiman mereka. Pada 2001 mereka membangun masjid, dan pada 2018, mereka berhasil mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) kelas jauh agar anak-anak mereka dapat menikmati pendidikan dasar.
Hingga saat ini, tercatat sebanyak 167 jiwa dari 103 kepala keluarga tinggal di Pulau Kera. Dari jumlah tersebut, 88 KK telah memiliki KTP Kabupaten Kupang, dan sisanya masih dalam proses administrasi kependudukan. Berdasarkan status tersebut, mereka telah sah menjadi bagian dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam setiap Pemilu tingkat Kabupaten, Provinsi, maupun Nasional.
Sikap GP Ansor dan Tuntutan Dialog Ulang
Ajhar menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak program pemerintah, termasuk upaya relokasi, jika memang ada alasan yang benar-benar objektif dan dibahas secara inklusif. Namun, pendekatan yang dilakukan saat ini dinilai hanya menimbulkan ketakutan dan kecurigaan di tengah masyarakat.
“Jika relokasi dilakukan semata-mata karena kepentingan lain yang tidak berpihak pada rakyat, maka kami akan berdiri di garis depan membela warga Pulau Kera. Ini bukan hanya soal tempat tinggal, tapi soal identitas dan sejarah mereka,” tegas Ajhar.
Lebih lanjut, GP Ansor secara kelembagaan menyatakan akan mengawal proses ini, termasuk melalui jalur hukum jika diperlukan. Koordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor telah dilakukan untuk memberi pendampingan hukum bagi masyarakat Pulau Kera.
Salah satu persoalan mendasar yang belum terselesaikan adalah status hukum kepemilikan tanah Pulau Kera. Secara administratif, pulau ini masuk dalam wilayah Kecamatan Semau, Desa Uiasa. Namun, status kepemilikan tanah masih menjadi perdebatan antara pihak yang mengklaim sebagai pemilik pribadi dengan data dari Pemerintah Provinsi yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan milik negara.
“Kami minta pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten duduk bersama membahas status hukum tanah Pulau Kera, termasuk aspek lingkungan, budaya, dan sosial ekonomi masyarakat. Jangan sampai masyarakat dikorbankan karena ketidakjelasan administratif,” pungkas Ajhar.
GP Ansor berharap Bupati Kupang bersedia membuka ruang dialog dan mengambil kebijakan yang lebih manusiawi serta menghormati nilai-nilai sejarah, hukum, dan hak asasi manusia. Ancaman relokasi tanpa kejelasan dan tanpa proses musyawarah dinilai menciderai prinsip keadilan dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan publik.
“Pemimpin harus menjadi pelindung, bukan pengancam. Mari kita bangun komunikasi dan solusi bersama yang menghormati sejarah dan masa depan masyarakat Pulau Kera,” tutup Ajhar Jowe.
Penulis: Hamid