Tangis dalam Gelap: Pasutri Korban Kebakaran di Merombok Manggarai Barat Bertahan di Gudang Tanpa Cahaya
Pasutri dan harapan penerangan di malam hari

LABUANBAJOVOICE.COM – Hampir dua pekan berlalu sejak kobaran api melahap rumah Taufik Suldi (40) dan Nur Wahyuni (35). Namun, bagi mereka, musibah itu bukan sekadar kehilangan tempat tinggal, melainkan kehilangan harapan. Rumah yang dulu menjadi tempat mereka berteduh kini hanya tinggal puing-puing hitam, menyisakan satu gudang kecil berukuran 5×7 meter—saksi bisu dari bencana yang mengubah hidup mereka dalam sekejap.
Bersama kedua anaknya yang masih kecil, mereka kini terpaksa mengungsi di rumah orang tua Nur Wahyuni, Alimudin (Bapak Mertua Taufik). Namun, rumah itu pun tak lagi lapang, kini dihuni oleh dua kepala keluarga yang. Setiap malam, Suldi dan anak-anaknya harus tidur di gudang—tanpa ranjang, tanpa listrik, hanya kegelapan yang menemani.
Di gudang sempit itu, mereka hidup dalam keterbatasan. Siang hari terasa panas menyengat, malam hari dingin menusuk. Tidak ada listrik, tidak ada penerangan, hanya cahaya dari lilin kecil yang menerangi sudut ruangan.
“Kadang anak-anak menangis karena takut tidur dalam gelap. Saya hanya bisa memeluk mereka, berusaha menenangkan meski hati saya sendiri remuk,” ujar Nur Wahyuni, matanya berkaca-kaca mengisahkan kepada media, Rabu (12/02/2025) malam.
Masalah bertambah pelik karena hingga kini PLN belum memberikan kepastian soal penggantian meteran listrik yang ikut hangus dalam kebakaran itu.
“Kalau ada listrik, setidaknya kami bisa memasang lampu di gudang, bisa hidup lebih nyaman. Tapi sekarang, malam terasa sangat panjang dan menyakitkan,” kata Suldi.
Tak ada tetangga yang berani berbagi listrik. Mereka masih trauma dengan kejadian itu, takut hal yang sama terulang. Alhasil, keluarga ini harus bertahan dalam gelap, tanpa kepastian kapan keadaan akan membaik.
Kebakaran itu terjadi pada Sabtu, 01 Februari 2025 lalu pukul 11.29 WITA. Bermula dari korsleting listrik di kamar depan, api dengan cepat menjalar, membakar seluruh bagian rumah dalam hitungan menit.
“Kami pada saat itu berada di luar rumah dan kondisi rumah pada saat kejadian tidak ada orang. Suami saya sedang di pasar lagi jualan dan saya waktu itu mengantar mertua ke RSUD Komodo untuk mengecek kesehatan mertua yang lagi sakit,” kenang Nur Wahyuni, suaranya bergetar menahan air mata.
“Kami tidak bisa menyelamatkan apa pun. Uang Rp200-an juta, modal usaha milik orang yang direncanakan akan dikirim ke pemilik pada hari Senin (3/2/2025) ikut terbakar. Rumah rata dengan tanah,” katanya lirih.
Warga setempat, dibantu delapan anggota TNI, empat polisi, serta dua unit pemadam kebakaran, berjuang keras memadamkan api waktu itu. Setelah hampir satu jam bertarung dengan si jago merah, api akhirnya bisa dijinakkan. Namun, semuanya sudah terlambat. Rumah itu telah rata dengan tanah.
Kini, yang tersisa hanyalah ketidakpastian. Keluarga ini berharap ada bantuan dari pemerintah atau masyarakat. Hingga berita ini ditulis, belum ada kepastian dari PLN mengenai pemasangan kembali listrik mereka.
“Kami tidak meminta banyak. Kami hanya ingin hidup seperti dulu lagi, punya tempat berteduh yang layak, ada listrik untuk anak-anak belajar, ada tempat untuk kami beristirahat dengan tenang,” ucap Suldi dengan mata nanar.
Di tengah kesulitan, mereka hanya bisa berharap ada tangan-tangan baik yang bersedia membantu. Sebuah uluran tangan yang bisa membawa mereka keluar dari kegelapan—secara harfiah maupun secara batin.
Penulis: Hamid