Bangunan Pusat Pembelajaran Lingkungan di Labuan Bajo Milik IWP Dibangun dari Sampah Kaca
Indonesia Waste Platform (IWP) membuka secara resmi pusat pembelajaran lingkungan (Environment Learning Center) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
LABUANBAJOVOICE.COM | Indonesia Waste Platform (IWP) membuka secara resmi pusat pembelajaran lingkungan (Environment Learning Center) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Jum’at, 19 Juli 2024 pagi.
Pada kesempatan itu, Kordinator Nasional Indonesian Waste Platform (IWP), Martha Muslin Tulis mengatakan, salah satu inovasi yang dibangun adalah mendaur ulang sampah limbah botol kaca menjadi pasir sebagai salah satu bahan material dalam membangun Pusat Pembelajaran Lingkungan (environment learning center) di Labuan Bajo.
Inovasi itu, kata Ica -biasa disapa-, berangkat dari tingginya limbah botol kaca yang dihasilkan dari aktivitas pariwisata di Labuan Bajo, mulai dari hotel hingga kapal-kapal wisata. Sebelumnya limbah anorganik itu selalu di bawah ke tempat pembuangan akhir (TPA) Warloka Labuan Bajo.
“Sampah botol kaca banyak sekali mulai dari air mineral dan minuman alkohol. Itu beban besar karena berat dan jumlahnya banyak, dan semua akan berakhir di TPA. Pemerintah juga belum punya alat penghancur kaca seperti yang kami punya,” jelas Ica.
Pihaknya pun berinisiatif untuk menampung seluruh limbah botol itu dan mengolahnya menjadi pasir menggunakan mesin penghancur kaca. Pasir hasil daur ulang itulah yang kemudian digunakan sebagai agregat bangunan Pusat Pembelajaran Lingkungan, dicampur pasir sungai, dan semen.
Selain pasir, batuan dinding bangunan tersebut juga diganti dengan pecahan kaca botol-botol bekas (berbentuk bulat) untuk menopang bangunan seluas 7×13 meter persegi itu. Menurut Ica penggunaan kaca sebagai material bangunan dapat meningkatkan kekuatan jangka panjang, termasuk insulasi panas yang lebih baik.
“Gedung ini juga dirancang arsitek, untuk kekuatan bangunan tiangnya pakai besi, untuk temboknya pakai pasir kaca dicampur dengan pasir sungai. Sementara dinding yang lazimnya pakai batu bata diganti dengan botol kaca. Gedung ini baru dibangun tiga bulan yang lalu,” ungkapnya.
Jika dikaitkan dengan prinsip ekonomi sirkular, menurut Ica, praktik tersebut sangat sejalan karena ekonomi sirkular bertujuan membuat suatu produk dan material dapat digunakan selama mungkin untuk meminimalisir limbah.
“Saya kira ini satu-satunya bangunan di NTT yang menggunakan bahan botol kaca. Kami harapkan ini menjadi showcase dan bisa menggerakkan yang lainnya,” imbuhnya.
Selain sebagai pusat daur ulang sampah organik dan anorganik, Pusat Pembelajaran Lingkungan juga akan menjadi model dan tempat belajar bersama bagi masyarakat, pemerintah, pelajar, dan pelaku bisnis pariwisata tentang pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Dengan begitu diharapkan masyarakat dapat lebih memahami dan menerapkan konsep ekonomi sirkular dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masalah sampah di Manggarai Barat dapat diatasi dengan lebih efektif.
IWP dan Pemerintah Manggarai Barat berharap dapat menginspirasi daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengadopsi praktik pengelolaan sampah yang lebih baik dan berkelanjutan.
“Pusat ini diharapkan menjadi contoh sukses dari kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan bisnis pariwisata dalam mengatasi masalah sampah,” pungkasnya.
Penulis: Hamid