Ngopi

Pulau Komodo: Keindahan yang Kaya, Warga yang Tak Terbagi! ‘Komodo untuk Dunia, Tapi Apa Kabar Warganya?’

Penulis: Yuvensius Darung l Owner GokLin Labuan Bajo | Ketua Bidang Hotel PHRI BPC Manggarai Barat | Sekretaris Jenderal IHKA DPD NTT

LABUANBAJOVOICE.COM – Pulau Komodo. Hanya dua kata, tapi dunia mengenalnya sebagai rumah bagi makhluk purba terakhir yang masih bertahan: Komodo. Tak terhitung berapa banyak langkah kaki dari berbagai bangsa menapaki jalur tanah dan bukit keringnya, menatap penuh kagum pada raksasa reptil yang melenggang pelan namun berwibawa.

Kamera-kamera berlomba menangkap momen, jurnal-jurnal pariwisata memuji pesonanya, dan tiket-tiket terus terjual hari demi hari. Pulau ini telah menjadi panggung dunia, ikon dari Indonesia Timur yang megah.

Namun, di balik semua itu, ada cerita yang yang nyaris tak pernah masuk lensa kamera wisatawan. Cerita tentang anak-anak yang harus berjalan kaki menanjak untuk mencapai sekolah yang mulai lapuk. Tentang ibu-ibu yang masih menimba air jauh dari rumah. Tentang para ayah yang menjadi nelayan atau pemandu wisata dadakan tanpa kepastian penghasilan. Tentang ratusan keluarga yang tinggal di tengah surganya konservasi, tapi hidupnya jauh dari sejahtera.

Komodo sudah mendunia, tapi bagaimana nasib manusia yang hidup bersamanya selana puluhan atau ratusan tahun?!

Apakah keajaiban purba itu hanya menjadi sumber kekayaan bagi negara dan investor, namun tak menjadi berkah bagi anak-anak asli yang lahir di pulau ini?

Pertanyaan itu menyayat, dan tidak boleh kita anggap remeh. Karena di balik Rp64, 78 miliar pendapatan dari tiket masuk Pulau Komodo tahun lalu—yang didapat dari lebih dari 334.206 wisatawan—masih ada 515 Kepala Keluarga (KK) yang bertanya dalam hati: “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘱𝘦𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘴𝘪𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘸𝘪𝘴𝘢𝘵𝘢𝘸𝘢𝘯?”.

Ini bukan narasi untuk menyalahkan. Ini ajakan untuk membenahi. Ini bukan tangisan kemiskinan. Ini adalah suara dari tanah yang kaya, tapi belum merdeka secara ekonomi.

Potensi Ekonomi Besar, Tapi Rakyatnya Kecil Dalam Perhitungan

Mari kita lihat faktanya. Dari total kunjungan wisatawan tahun 2024, tercatat 226.948 wisatawan mancanegara dan 107.258 wisatawan domestik yang datang menyaksikan Komodo di habitat aslinya.

Dengan harga tiket masing-masing Rp250.000 untuk wisatawan asing dan Rp75.000 wisatawan lokal, maka pemasukan dari tiket menyentuh angka Rp64. 781.350.000 sebuah angka fantastis dari satu destinasi yang berstatus konservasi.

Pertanyaannya sederhana namun menyakitkan: Uang sebanyak ini lari ke mana? Dan yang lebih menyayat: berapa persen dari angka itu yang benar-benar masuk ke kantong masyarakat Komodo?.

Jika kita gunakan pendekatan sederhana dan adil: misalnya 15% dari pendapatan tiket dibagikan kepada masyarakat Pulau Komodo setiap bulan, maka setiap bulan ada Rp 798 juta yang bisa dialokasikan sebagai dana pemberdayaan. Dibagi ke 515 kepala keluarga, maka masing-masing akan menerima sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Itu bisa menjadi tambahan pendapatan yang signifikan.

Tapi lebih dari itu, dana ini bisa menjadi fondasi koperasi lokal, modal UMKM, pelatihan generasi muda, dan penguatan struktur ekonomi desa secara mandiri dan berkelanjutan.

Ironisnya, masyarakat yang lahir, besar, dan hidup berdampingan dengan Komodo justru hanya menerima “tetesan” dari aliran besar kekayaan yang dikeruk dari tanah leluhur mereka. Ini bukan sekadar ketidakadilan—ini adalah pengabaian struktural yang telah berlangsung bertahun-tahun, dan butuh dikoreksi segera.

Dari Produk Lokal untuk Dunia, dan Dari Dunia untuk Komodo

Jika kita ingin menghadirkan keadilan yang lebih holistik, maka selain alokasi keuangan, harus dibangun ekosistem usaha lokal yang kuat. Sebuah rantai ekonomi yang mengakar dari desa dan menopang pengalaman wisata.

Mari bayangkan skenario ini: setiap hari, rata-rata 916 wisatawan mengunjungi Pulau Komodo. Jika masing-masing dari mereka menghabiskan minimal Rp50.000 untuk membeli produk lokal—entah itu kerajinan tangan, makanan khas, madu hutan, minyak kayu putih lokal, atau tenun khas Komodo—maka akan beredar uang sebesar Rp 45,8 juta setiap hari di tangan masyarakat. Dalam sebulan? Rp1,37 miliar!

Itu bukan mimpi, itu potensi riil—jika ada keberpihakan, regulasi, dan sistem distribusi yang berpihak pada pelaku usaha lokal.
Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki akses dan dorongan untuk membeli produk asli Komodo.

Artinya, BTNK dan pemerintah perlu mengintegrasikan pelaku UMKM lokal ke dalam pengalaman wisata. Dari pemandu lokal yang bersertifikasi, stand resmi produk lokal di dermaga, hingga souvenir center yang dikurasi secara profesional—semua bisa dikelola secara kolektif oleh masyarakat.

Alamnya di Konservasi, Masyarakatnya Diberdayakan

Saya percaya konservasi itu penting. Saya juga percaya bahwa kelestarian Komodo adalah tanggung jawab moral dan ekologis kita bersama. Tapi konservasi tidak boleh menjadi alasan untuk memiskinkan manusia yang telah menjaga ekosistem ini selama ratusan tahun tanpa pamrih. Konservasi tanpa keadilan sosial adalah kekosongan moral.

Di dunia yang makin sadar akan keberlanjutan, turis tidak hanya ingin melihat satwa liar, mereka ingin tahu siapa yang menjaga, siapa yang tinggal di sana, dan apakah orang-orang itu hidup dengan layak. Dunia ingin melihat kisah utuh, bukan panggung palsu.

Dunia ingin tahu, apakah Pulau Komodo adalah contoh keberhasilan konservasi yang adil dan berkelanjutan, atau hanya sekadar destinasi eksotik dengan rakyat yang terpinggirkan.

Kesempatan untuk Memulai Babak Baru

Ini adalah waktu yang tepat untuk berubah.
Kita punya data. Kita punya suara masyarakat. Kita punya kemauan dari berbagai pihak. Yang perlu kita dorong sekarang adalah desain kebijakan yang berani dan berpihak, yaitu:

• BTNK bisa menjadi fasilitator, bukan hanya regulator.
• Pemerintah pusat bisa menyusun skema bagi hasil yang proporsional.
• Masyarakat bisa diperkuat sebagai pelaku utama, bukan pelengkap di pinggir panggung.

Bayangkan jika kapal pesiar besar yang bersandar di perairan Pulau Komodo—yang dikenai biaya sekitar USD 5.000 per hari (setara dengan Rp80-an juta)—juga menyumbang langsung ke program konservasi yang dikelola secara kolaboratif bersama masyarakat lokal.

Dana ini bukan hanya menjadi pemasukan, tetapi bisa diarahkan untuk pembangunan dermaga khusus kapal besar yang ramah lingkungan, tidak merusak terumbu karang, dan tetap menjaga alur migrasi laut di kawasan konservasi.

Terumbu karang bukan sekadar lanskap bawah laut yang indah—ia adalah benteng hidup yang melindungi garis pantai, rumah bagi ribuan spesies, dan sumber penghidupan nelayan lokal. Saat ini, sebagian besar kapal bersandar tanpa fasilitas dermaga yang memadai, sehingga berisiko menabrak atau mengganggu struktur terumbu karang yang sangat sensitif.

Maka, bila biaya sandar kapal mewah dialokasikan sebagian untuk pemulihan dan perawatan terumbu karang, pembangunan jalur labuh yang aman, dan edukasi wisatawan akan pentingnya konservasi laut, maka Pulau Komodo tidak hanya tampil megah di mata dunia, tetapi juga kuat menopang warisan ekologinya.

Dari Komodo untuk dunia-itu sudah terjadi. Sekarang saatnya dari dunia untuk Komodo. Bukan hanya untuk hewannya. Tapi jiga untuk manusianya.

Karena bila masyarakat Komodo diberdayakan, maka Komodo akan dijaga, dan dunia akan terus datang—bukan hanya untuk melihat kadal purba, tapi juga untuk menyaksikan bagaimana keadilan bisa tumbuh di tengah konservasi.*

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://t.me/labuanbajovoice
Back to top button
error: Content is protected !!