Labuan Bajo: Menata Ulang Tanpa Menghancurkan, Membangun Harmoni antara Hukum, Investasi, dan Ekologi
Oleh: Yuvensius Darung | Praktisi Hospitality | Ketua Bidang Hotel PHRI BPC Manggarai Barat

LABUANBAJOVOICE.COM – Labuan Bajo berdiri di persimpangan sejarah pembangunan. Sebagai destinasi super prioritas nasional, wajahnya terus dipercantik oleh investasi yang menjanjikan kemajuan. Namun, ketika kemajuan dibangun di atas pelanggaran tata ruang, pengabaian terhadap regulasi, dan pengecualian terhadap masyarakat pesisir, maka kita tak sedang menyongsong masa depan—melainkan mengundang krisis jangka panjang.
Polemik pembangunan hotel di sempadan pantai Labuan Bajo bukan sekadar soal teknis administratif. Ia adalah ujian atas integritas kita dalam menegakkan hukum, menjaga ekologi, dan mewujudkan keadilan sosial. Dan pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang bersalah, tetapi siapa yang berani memperbaiki.
Bukan Melawan Investasi, Tapi Menertibkan Langkahnya
Kita tidak sedang menolak investasi. Justru investasi yang taat hukum, menghormati ruang ekologis, dan membuka ruang hidup bagi masyarakat lokal adalah investasi yang pantas kita pertahankan bersama.
Tak dapat disangkal, keberadaan hotel-hotel di pesisir telah menciptakan lapangan kerja, mendorong pendapatan asli daerah (PAD), dan mendorong transformasi ekonomi. Namun, ketika sebagian dari bangunan tersebut berdiri di atas zona sempadan pantai wilayah yang menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 26 Tahun 2007 merupakan kawasan perlindungan ekologis kita wajib bertanya: bagaimana bisa ini terjadi?
Keadilan Korektif: Bukan Pembongkaran, Tapi Pemulihan
Kita butuh pendekatan keadilan korektif sebuah pendekatan hukum yang bukan mencari siapa yang paling layak dihukum, tapi siapa yang paling siap memperbaiki. “Hukum seharusnya menyembuhkan, bukan membakar. Menata, bukan menghancurkan.” Sebelas hotel di pesisir Labuan Bajo telah disanksi. Dalam rapat dengar pendapat DPRD bersama OPD, muncul retorika untuk menggugat. Tapi adakah itu bentuk keadilan, atau hanya respons reaktif atas sistem yang sebelumnya dibiarkan keropos?
DPRD bukan penonton. Mereka bagian dari sistem yang menyusun RDTR, mengawasi OPD, dan menyetujui anggaran. Maka, keadilan sejati dimulai dari keberanian mereka untuk bercermin.
Tiga Pilar Solusi: Adil, Kolaboratif, dan Berkeadaban
1. Legalitas Bersyarat dan Kompensasi Ekologis
Alih-alih pembongkaran total, berikan status hukum bersyarat bagi bangunan eksisting:
a. Akses publik ke pantai harus dibuka;
b. Wajib melakukan rehabilitasi pesisir dan vegetasi mangrove dan coral propagation;
c. Berkontribusi pada program konservasi dan pemberdayaan nelayan lokal.
Skema ini dikenal sebagai environmental offsetting dipraktikkan di berbagai negara sebagai jalan tengah yang menyelamatkan ruang kritis tanpa menghancurkan nilai ekonomi.
2. Sinkronisasi RDTR dan RZWP3K
Revisi segera Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) agar sejalan dengan kebijakan nasional, termasuk Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Libatkan akademisi, pemerintah pusat, dan masyarakat sipil dalam penyusunan aturan tata ruang yang adil dan transparan.
3. Moratorium Izin Baru di Zona Sempadan
Sembari penataan dilakukan, hentikan sementara penerbitan izin baru di sempadan pantai. Ini penting agar proses korektif tidak ditelikung oleh pelanggaran baru.
Dialog Bukan Konfrontasi, Refleksi Bukan Retorika
Labuan Bajo tidak butuh panggung akrobat politik. Ia butuh ruang dialog antara pemerintah pusat, daerah, pengusaha, akademisi, dan masyarakat. Dalam ruang ini, kita bicara masa depan bukan siapa yang layak digugat.
“Jika ingin terdengar tegas, mulailah dari keberanian untuk memperbaiki. Bukan dari sorotan kamera, tapi dari niat yang jujur.”
Tutup Celah Pemerasan, Audit Legalitas dengan Transparansi
Polemik sempadan pantai jangan menjadi alat pemerasan atau panggung kampanye. Pemerintah dan penegak hukum wajib:
- Mengevaluasi izin secara terbuka;
- Menindak oknum birokrat yang menyalahgunakan kewenangan;
- Melindungi investor yang taat dan beritikad baik.
Membangun Bukan Meruntuhkan, Memulihkan Bukan Menghukum
Penataan ulang sempadan pantai adalah momentum, bukan momok. Kita bisa memperbaiki tata ruang tanpa membunuh ekonomi. Kita bisa menjaga pantai tanpa menghentikan kemajuan.
Labuan Bajo tidak butuh pertarungan ego. Ia butuh kolaborasi lintas batas, komitmen lintas generasi, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan ruang.
“Kita tidak sedang menyelamatkan pantai untuk satu generasi. Kita sedang menjaga warisan untuk banyak generasi.”
Jika kita serius membenahi, sejarah akan mencatat kita sebagai pembaru. Tapi jika hanya ingin terdengar lantang, sejarah akan mencatat kita sebagai riuh yang cepat dilupakan.