Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp LabuanBajoVoice.Com
+ Gabung
LABUANBAJOVOICE.COM – Perubahan pesat yang melanda Labuan Bajo pasca penetapannya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tak hanya menghadirkan wajah baru yang modern dan megah. Di balik gemerlapnya pembangunan infrastruktur dan geliat sektor pariwisata, tersimpan kisah perjuangan yang sunyi, kisah tentang keberanian dan pengorbanan generasi pertama yang membangun desa-desa di sekitar Labuan Bajo.
Kanisius Jehabut, Anggota DPRD Manggarai Barat dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1, yang juga putra daerah Kampung Mberata, Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, berbagi refleksi mendalam tentang hal ini.
Setelah 32 tahun merantau, didorong oleh keinginan untuk berkontribusi langsung pada pembangunan daerahnya dan lebih dekat dengan akar budaya keluarganya, serta memanfaatkan posisinya sebagai Anggota DPRD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat di Dapil 1, Kanisius kembali ke kampung halamannya dan menyaksikan langsung transformasi yang terjadi.
Kembalinya Kanisius ke Mberata pada tahun 2023 menandai babak baru dalam kehidupannya. Selama dua tahun terakhir, ia dan keluarganya telah menyaksikan secara langsung bagaimana kampung halamannya, yang dulunya tertinggal dan terisolasi, kini mulai merasakan sentuhan pembangunan.
Kemajuan ini, kata Kanisius, tak lepas dari dampak positif penetapan Labuan Bajo sebagai KSPN. Namun, di balik kemajuan tersebut, Jehabut menemukan kisah inspiratif yang jarang tersorot media: perjuangan sembilan perintis yang rela meninggalkan zona nyaman mereka untuk membuka lahan di belantara Mberata.
Sebagai wakil rakyat, Ia berkomitmen untuk memastikan agar kisah dan perjuangan para perintis ini tidak dilupakan, dan agar pembangunan di daerahnya berkelanjutan dan merata.
Sembilan nama tersebut, Benediktus Wilong, Bonefasius Belok, Yoseph Ndondo, Lasarus Jehabut (keluarga Jehabut), Petrus Prau, Markus Lagut, Thomas Apung, Bernadus Nggangguk, dan Bernadus Kantur, menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi masyarakat Mberata.
Mereka, tambah Kanisius, adalah bagian dari 52 orang yang pertama kali menerima tanah dari Masyarakat Ulayat Mburak dan Nanga Nae. Hanya sembilan yang bertahan menghadapi tantangan yang luar biasa. Tanpa infrastruktur memadai, tanpa bantuan logistik yang cukup, dan tanpa jaminan apapun selain tekad yang kuat, mereka membabat hutan, melawan nyamuk dan binatang buas, serta mengatasi berbagai kesulitan lainnya.
Mereka mengorbankan kenyamanan demi masa depan yang lebih baik bagi generasi penerus. Kanisius, dalam perannya sebagai Anggota DPRD, berupaya untuk memastikan agar pembangunan infrastruktur dan program-program pemerintah dapat menjangkau daerah-daerah terpencil seperti Mberata.
“Mereka memilih bertarung melawan ketidakpastian,” ungkap Kanisius dengan nada penuh penghormatan. “Tidak ada jalan mulus, tidak ada bantuan logistik, tidak ada jaminan apa pun kecuali keyakinan bahwa hidup harus diperjuangkan.” ujar anggota DPRD Fraksi Gerindra itu.