LABUANBAJOVOICE.COM – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Manggarai Barat mencatat, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) masih menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga tahun 2024. Namun, target 2025 justru diturunkan drastis karena lahan yang bisa diperjualbelikan di daerah itu disebut sudah menipis.
Kepala Bapenda Manggarai Barat Maria Yuliana Rotok menyampaikan, realisasi PAD terbesar tahun 2024 berasal dari BPHTB dengan capaian Rp81 miliar, jauh melampaui target awal Rp42 miliar. Capaian itu menembus 191 persen dari target.
“BPHTB sampai 2024 itu paling tinggi, Rp81 miliar. Tapi 2025 ini target kami turunkan jadi Rp30 miliar saja,” kata Maria, Senin (22/9/2025).
Alasan target turun, menurut Maria, potensi BPHTB sudah sangat terbatas. “Tidak ada lagi tanah di Manggarai Barat yang bisa diperjualbelikan. Semua sudah dijual ke orang-orang. Jadi target tahun ini kami turunkan,” ujarnya.
Ia menegaskan, berbeda dengan pajak lain, BPHTB sulit diprediksi. Pasalnya, penerimaannya sangat bergantung pada niat jual-beli tanah dari masyarakat maupun investor.
“BPHTB itu sebenarnya tidak bisa ditargetkan, karena tergantung penjual dan pembeli. Tapi karena termasuk jenis penerimaan daerah, tetap harus kita pasang target,” jelasnya.
Meski target 2025 diturunkan, realisasi hingga September 2025 sudah mencapai 88 persen dari Rp30 miliar. Artinya, Bapenda optimis capaian akhir tahun masih bisa sesuai target.
“Kalau tahun-tahun sebelumnya, kita tidak pernah menyangka transaksi jual-beli tanah di Manggarai Barat begitu tinggi. Tapi kondisi 2025 ini berbeda,” kata Maria.
Selain BPHTB, Bapenda kini menaruh perhatian pada potensi pajak lain. Pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, hingga parkir menjadi sasaran prioritas.
“Tren kendaraan di Manggarai Barat meningkat dari tahun ke tahun. Maka pajak parkir akan jadi salah satu sumber yang kami maksimalkan. Begitu juga dengan pajak mineral bukan logam dan batuan, karena pembangunan di daerah ini masif,” jelasnya.
“Kalau pajak parkir, potensinya besar karena kendaraan makin banyak. Begitu juga pajak galian C yang jadi kewenangan Pemda,” tambahnya.
Hotel ‘Nakal’ Masih Jadi Masalah
Maria mengakui, masih banyak pelaku usaha yang sulit membayar atau melaporkan kewajiban pajaknya, terutama hotel dan restoran.
“Pasti ada hotel nakal. Kalau tidak ada lagi, OPD kami bubar saja,” ujarnya sambil tertawa.
Menurutnya, kendala kepatuhan pajak memang klasik. “Pajak itu selalu dihindari orang. Padahal itu bukan uangnya, tapi kewajiban,” tegasnya.
Ia menambahkan, Bapenda hanya mencatat omzet bulanan hotel dan restoran untuk dasar pajak, sementara data detail okupansi seperti jumlah tamu dan lama menginap menjadi wewenang Dinas Pariwisata.
Dengan keterbatasan lahan untuk transaksi tanah, sektor pariwisata dipastikan tetap menjadi penopang utama PAD Manggarai Barat.
Pajak hotel dan restoran disebut akan menjadi tulang punggung penerimaan daerah, disusul dengan sumber lain seperti parkir dan galian C.
“Yang besar tetap dari hotel dan restoran. Hiburan itu kecil. Kalau diurut, peringkat pertama PAD kita tetap BPHTB, lalu hotel, resto, baru yang lainnya,” pungkas Maria.**
Tinggalkan Balasan