PHRI Manggarai Barat Dorong Desa Wisata agar Memiliki Ciri Khas Tersendiri
PHRI Manggarai Barat: Setiap desa wisata yang ada di Manggarai Barat perlu dibangun rumah adat sebagai tempat wisata adat
LABUANBAJOVOICE.COM | Badan Pengurus Cabang (BPC) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Manggarai Barat menyoroti begitu masifnya pembangunan homestay yang ada di daerah itu.
“Yang jadi soal sekarang ini bangun homestay yang begitu masif, apa diimbangi infrastruktur atau akses ke homestay-homestay itu,” ujar Ketua BPC PHRI Manggarai Barat, Silvester Wanggel, Jumat (11/10) malam di Labuan Bajo.
Menurut Silvester, selain masifnya bangunan homestay dibuat, di Kabupaten Manggarai Barat juga belum ada desa wisata yang memiliki ciri khas atau icon (ikon) tersendiri sebagai bentuk daya tarik wisatawan agar tetap ingin berkunjung.
“Apa yang menjadi icon di desa itu. Itu mungkin, apa menjadi perbedaan yang mendasar antara desa wisata satu kemudian desa wisata yang lainnya. Paling tidak, yang ditonjolkan itu adalah iconic (ikonik), icon di desa itu,” kata Ketua PHRI Manggarai Barat itu.
Ia mengatakan, di setiap desa itu perlu menarasikan tentang kelebihan-kelebihan desa wisata yang ada. Dan juga perlu dilakukan pemetaan terkait kekurangan yang ada di setiap desa agar bisa dibenahi.
Silvester menambahkan, kenapa Bali itu menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan dunia untuk melakukan kunjungan wisata. Bahkan orang yang sama, puluhan kali datang ke Bali. Terlihat sekali wisatawan itu merasa bosan berada di Bali.
“Bahkan orang yang sama itu puluhan kali datang ke Bali. Kenapa, karena budaya nya dijaga atau pelestarian terhadap nilai-nilai budaya orang Bali. Contoh di Bali itu, punya Pura kemudian dengan legendanya sendiri-sendiri,” tuturnya.
Ia berharap, desa-desa wisata yang ada di Manggarai Barat ini perlu dibuatkan rumah-rumah adat Manggarai. Kalau di Bali itukan ada Pura, kemudian di daerah ini kita punya rumah adat sebagai nilai jual untuk wisatawan. Seperti rumah ada Wae Rebo yang ada di Kabupaten Manggarai.
“Tidak ada arsitek seperti itu di daerah lain di Indonesia. Kemudian dari aspek religius nya, kita lihat bersama Flores inikan perintis pembangunan itu adalah para misionaris,” ujar Silvester.
Ia menyampaikan bahwa, gereja-gereja tua itu perlu dilakukan renovasi kembali. Kemudian dibuatkan narasi. Bahwa ini gereja ini dibangun tahun berapa dan juga para pendiri serta tokoh-tokoh pejuang pembangunan gereja itu siapa saja. Tanpa merubahi arsitek awalnya.
Menurut Silvester, tempat wisata yang ada di Manggarai Barat jangan hanya menonjolkan hewan purba Komodo nya saja. Masih banyak daya tarik lain di daerah ini yang perlu ditampilkan untuk wisatawan.
“Di Manggarai Barat kita ini, jangan hanya lihat komodo-komodo. Komodo itu kan sekali orang lihat selesai. Jadi mereka sudah pernah lihat, tidak mungkin datang lagi. Yang membuat orang berulang-ulang berkunjung ke Labuan Bajo itu karena ada tempat snorkeling dan diving,” terangnya.
Ia membayangkan, suatu ketika Labuan Bajo, Manggarai Barat ini seperti tempat wisata di Bunaken yang ada di Manado, Sulawesi Selatan yang terumbu karang nya itu hancur karena masif nya pemboman ikan atau mungkin aktivitas pariwisata yang membuat terumbu karang itu hancur.
“Maka Labuan Bajo, mungkin suatu ketika nasibnya sama seperti itu. Apalagi dengan ratusan kapal yang beroperasi di Labuan Bajo,” kata Silvester.
Ketua PHRI Manggarai Barat itu berharap, selain tempat wisata di Taman Nasional Komodo (TNK), di setiap desa-desa wisata perlu dibenahi dan dibuatkan rumah adat atau pun gereja-gereja tua yang ada itu perlu dibuatkan narasi.
Penulis: Hamid