LABUANBAJOVOICE.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum nasional dan pemilihan umum daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.

Gugatan ini diajukan Perludem terhadap sejumlah pasal, yakni Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Permohonan tersebut didasarkan pada penilaian bahwa keserentakan lima kotak suara dalam satu waktu justru melemahkan demokrasi, pelembagaan partai politik, serta menurunkan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Perludem menilai penggabungan pemilu legislatif dan presiden serta pemilu daerah dalam satu waktu telah membuat partai politik kesulitan merekrut dan mempersiapkan kader yang berkualitas.

Akibatnya, parpol cenderung terjebak dalam pragmatisme dan mengedepankan popularitas kandidat dibandingkan ideologi partai.

Dalam sidang pengucapan putusan yang digelar Kamis (26/6/2025), MK menyatakan bahwa pemisahan pemilu diperlukan untuk menjamin kualitas penyelenggaraan pemilu serta mempermudah pemilih dalam menyalurkan hak pilihnya.

Oleh karena itu, pemilu serentak lima kotak—yang selama ini dilaksanakan—tidak akan diberlakukan lagi mulai 2029.

“Pemilu nasional dan pemilu daerah akan diselenggarakan secara terpisah,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pembacaan pertimbangan hukum.

Saldi menjelaskan bahwa Pemilu anggota DPR, DPD, serta Presiden/Wakil Presiden akan dilaksanakan lebih dahulu. Sementara itu, pemilihan anggota DPRD serta kepala daerah dilakukan dalam waktu paling singkat dua tahun hingga paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan pemimpin nasional.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyoroti bahwa waktu pemilu yang berdekatan telah menyebabkan masalah pembangunan daerah tenggelam oleh isu nasional.

Pemilih juga mengalami kejenuhan karena harus mencoblos lima surat suara sekaligus, yang mengganggu fokus dan kualitas pilihan mereka.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan bahwa beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tidak efisien karena impitan waktu yang membuat masa kerja efektif hanya dua tahun.

“Ini memengaruhi efektivitas penyelenggara pemilu dan kualitas pemilu itu sendiri,” tegasnya.

Mahkamah juga menyoroti dampak keserentakan terhadap partai politik. Jarak waktu yang terlalu dekat antara pemilu nasional dan daerah menyebabkan partai politik kekurangan waktu untuk kaderisasi, yang pada akhirnya mendorong perilaku politik transaksional.

“Partai politik terpaksa merekrut calon berdasarkan popularitas, bukan kapasitas atau visi ideologis. Ini adalah kemunduran dalam proses demokrasi yang sehat,” ujar Arief.

Mengenai masa transisi kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024, Mahkamah menyerahkan kewenangan penuh kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskannya melalui rekayasa konstitusional.

Pengaturan masa jabatan dan peralihan diharapkan memperhatikan prinsip-prinsip demokratis dan kesinambungan pemerintahan.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai bahwa:

“Pemungutan suara nasional (DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden) dan pemungutan suara daerah (DPRD, gubernur, bupati, walikota) dilakukan secara terpisah, dengan jarak waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan pejabat nasional.”

Ketua MK Suhartoyo menegaskan bahwa pemisahan waktu ini harus diterapkan mulai Pemilu 2029 demi menciptakan pemilu yang lebih demokratis, efisien, dan menjamin kedaulatan rakyat secara menyeluruh.

Putusan ini menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem pemilu di Indonesia. Dengan pemisahan pemilu nasional dan daerah, diharapkan tercipta ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik yang bermakna, kaderisasi yang berkualitas, serta penyelenggaraan pemilu yang menjunjung tinggi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.