Pariwisata

Bupati Edi Soroti Ketimpangan Pengelolaan TNK, PHRI Manggarai Barat Yuvensius: BTNK Abaikan Sisi Kemanusiaan

Bupati Edi Soroti Ketimpangan Pengelolaan TNK, PHRI Manggarai Barat Yuvensius: BTNK Abaikan Sisi Kemanusiaan

LABUANBAJOVOICE.COM – Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat lokal.

Dalam audiensi bersama Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, dan para bupati serta wali kota se-NTT dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bupati Edi menyoroti ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi dari sektor pariwisata di wilayahnya.

Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Kamis (20/03/2025) sore, yang dihadiri oleh Dirjen Perimbangan Keuangan, Luky Alfirman.

Dalam kesempatan itu, Bupati Edi menekankan bahwa meskipun TNK telah menjadi ikon pariwisata dunia, masyarakat di sekitarnya masih hidup dalam keterbatasan.

Menurut Bupati Edi, ada tiga entitas yang memiliki kewenangan atas wilayah Manggarai Barat, yakni pemerintah daerah, Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), dan Badan Otorita Pariwisata.

“Dulu, kabupaten dikelola penuh oleh bupati. Sekarang, ada wilayah yang tidak bisa kami atur karena masuk dalam otoritas BTNK dan Badan Otorita Pariwisata,” ujar Edi.

Dalam kesempatan tersebut, Bupati Edi menyoroti adanya tiga entitas yang memiliki kewenangan atas wilayah Manggarai Barat, yakni pemerintah daerah, Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), dan Badan Otorita Pariwisata.

Menurutnya, situasi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam pengelolaan administrasi dan pengambilan kebijakan di daerah.

Bupati Edi menekankan bahwa dalam kawasan yang berada di bawah otoritas BTNK, banyak persoalan sosial yang diabaikan, seperti minimnya perhatian terhadap masyarakat miskin, rusaknya infrastruktur sekolah dan puskesmas, serta tidak adanya pembangunan dermaga bagi warga lokal.

Sementara itu, tambah Ketua DPW NasDem NTT, pendapatan dari sektor wisata yang diperoleh melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak disalurkan kembali ke pemerintah daerah.

“Dulu yang saya tahu, suatu kabupaten baik administrasi maupun otoritasnya murni dipimpin oleh seorang bupati. Tetapi di Manggarai Barat, ada tiga komponen yang mengatur. Ada zona tertentu yang tidak bisa diatur oleh bupati karena menjadi otoritas BTNK dan Badan Otorita Pariwisata,” ujar Edi.

Ia menambahkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNK seharusnya mendapatkan manfaat dari hasil pendapatan wisata.

“Kalau pun PNBP itu tidak bisa dibagi ke daerah, setidaknya rakyat miskin di sekitar kawasan itu harus diurus. Jangan hanya kekayaan alamnya yang diurus, tapi rakyatnya dibiarkan,” tegasnya.

Ironi di Pulau Komodo: Pariwisata Megah, Warga Sengsara

Ketua Bidang Hotel Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) BPC Manggarai Barat, Yuvensius Darung, mendukung pernyataan Bupati Edi. Ia menyoroti kondisi kehidupan masyarakat yang masih jauh dari kata sejahtera, meskipun Pulau Komodo telah menjadi destinasi kelas dunia.

“Pulau Komodo sudah mendunia, tapi ada cerita yang jarang masuk ke lensa wisatawan yaitu, anak-anak harus berjalan kaki jauh ke sekolah yang mulai lapuk, ibu-ibu masih menimba air dari tempat yang jauh serta ayah-ayah yang menjadi nelayan atau pemandu wisata dadakan tanpa kepastian penghasilan. Ratusan keluarga tinggal di tengah surganya konservasi, tapi mereka hidup dalam kesulitan,” ungkapnya, Minggu (23/03).

Lebih lanjut, ia mempertanyakan pemasukan uang dengan jumlah Rp64, 78 Miliar hasil dari tiket masuk wisatawan di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Menurut dia, berdasarkan data kunjungan wisatawan tahun 2024, tercatat 226.948 wisatawan mancanegara dengan tarif tiket Rp250.000/orang. Kemudian 107.258 wisatawan domestik dengan tarif tiket Rp 75.000/orang. Sehingga total kunjungan secara keseluruhan mencapai 334.206 wisatawan.

“Dari total kunjungan tersebut, pendapatan tiket mencapai Rp 64,78 miliar. Namun, pertanyaan besarnya: ke mana uang ini mengalir? Berapa persen yang benar-benar masuk ke kantong masyarakat Pulau Komodo?,” tanya Sekretaris Jenderal (Sekjen) IHKA DPD NTT itu.

Dikatakan Owner GokLin Labuan Bajo itu, jika 15% dari pendapatan tiket dialokasikan untuk masyarakat, maka  setiap bulan Rp798 juta bisa disalurkan untuk program pemberdayaan. 515 Kepala Keluarga (KK) bisa menerima sekitar Rp 1,5 juta per bulan sebagai tambahan penghasilan.

“Dana ini bisa digunakan untuk modal UMKM, koperasi, pelatihan generasi muda, serta pembangunan infrastruktur dasar. Namun, kenyataannya, warga Komodo justru hanya mendapatkan “tetesan kecil” dari kekayaan besar yang dihasilkan dari tanah leluhur mereka,” ungkapnya

Solusi: Ekosistem Usaha Lokal dan Pembagian Hasil yang Adil

Untuk mengubah keadaan tersebut, kata Yuvensius, perlu ada keberpihakan dalam kebijakan. Menurut dia, beberapa solusi yang bisa diterapkan, diantaranya; pertama; BTNK sebagai fasilitator, bukan hanya regulator – Memberikan ruang bagi pelaku usaha lokal untuk terlibat dalam ekosistem pariwisata.

Kemudian, yang kedua; Skema bagi hasil yang adil – Pemerintah pusat harus menyusun mekanisme pembagian pendapatan yang melibatkan masyarakat. Ketiga; Masyarakat sebagai pelaku utama – Penguatan UMKM, pelatihan pemandu wisata bersertifikasi, serta penyediaan pasar produk lokal.

“Setiap hari, rata-rata 916 wisatawan mengunjungi Pulau Komodo. Jika mereka masing-masing mengeluarkan Rp 50.000 untuk membeli produk lokal, maka Rp45,8 juta per hari akan masuk ke perekonomian lokal. Rp1,37 miliar per bulan bisa berputar di tangan masyarakat,” ujarnya.

Lanjut ia menyatakan, namun, tanpa regulasi yang mendukung, potensi ini hanya akan menjadi angka di atas kertas.

Konservasi Harus Sejalan dengan Kesejahteraan

Ia menegaskan bahwa konservasi tidak boleh menjadi alasan untuk memiskinkan masyarakat lokal. “Konservasi tanpa keadilan sosial adalah kebohongan. Dunia tidak hanya ingin melihat satwa liar, mereka ingin tahu siapa yang menjaganya, apakah mereka hidup layak, atau justru tersingkir,” ujarnya.

Solusi lainnya adalah dengan mengalokasikan biaya sandar kapal pesiar besar—yang bisa mencapai USD 5.000 per hari (Rp 80 juta)—untuk: pertama; Pembangunan dermaga ramah lingkungan, agar kapal tidak merusak terumbu karang. Kedua; Program konservasi berbasis masyarakat, yang melibatkan penduduk lokal dalam pemeliharaan ekosistem.

Saatnya Bertindak: Dari Dunia untuk Komodo, dan untuk Manusia yang Menjaganya

Pariwisata berbasis konservasi tidak akan bertahan lama jika manusia yang menjaga ekosistemnya tidak diberdayakan.

Pulau Komodo telah menarik perhatian dunia. Kini saatnya memastikan bahwa kekayaan yang dihasilkan tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi masyarakat yang telah menjaga pulau ini selama ratusan tahun.

Dari Komodo untuk dunia sudah terjadi. Kini, saatnya dunia untuk Komodo—bukan hanya untuk hewannya, tetapi juga untuk manusia yang hidup di sekitarnya.

Penulis: Hamid

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://t.me/labuanbajovoice
Back to top button
error: Content is protected !!