LABUANBAJOVOICE.COM — Anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat dari Fraksi Gerindra daerah pemilihan (Dapil) 1, Kanisius Jehabut, menanggapi serius putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2029.

Ia menyoroti dampak dari keputusan tersebut, khususnya terkait kemungkinan penundaan Pemilu Legislatif Daerah pada 2031 dan implikasinya terhadap masa jabatan anggota DPRD serta keberlangsungan pemerintahan daerah.

Putusan MK melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilakukan secara terpisah, dengan rentang waktu antara dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan pejabat nasional hasil Pemilu 2029.

“Putusan ini membuka ruang diskusi besar mengenai masa jabatan anggota DPRD. Jika pemilu daerah mundur hingga 2031, maka bisa jadi terjadi kekosongan legislatif, atau muncul kebutuhan untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD,” ungkap Kanisius Jehabut dalam keterangannya, Rabu (2/7/2025).

Ia menekankan bahwa konstitusi Indonesia, melalui Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, menegaskan pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

Penundaan tersebut berpotensi melanggar prinsip periodisasi kekuasaan, yang merupakan salah satu pilar demokrasi.

Peluang Perpanjangan Masa Jabatan DPRD

Menurut Kanisius, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, perpanjangan masa jabatan lembaga legislatif bukan hal baru. Praktik serupa pernah terjadi pada masa Orde Baru dan masa transisi Reformasi.

Namun demikian, tambahnya, mekanisme hukum yang ketat dan partisipasi publik sangat penting dalam menentukan arah kebijakan ini.

“Perpanjangan masa jabatan bisa saja terjadi, tapi harus melalui revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah, serta tetap mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat,” tegasnya.

Konteks Putusan MK: Reformasi Sistem Pemilu

Putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra pada Kamis (26/6/2025) menyatakan bahwa pemilu lima kotak serentak sebagaimana yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dan 2024 telah menurunkan kualitas demokrasi, melemahkan pelembagaan partai politik, serta menyulitkan proses kaderisasi.

Saldi menyatakan bahwa pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden/Wapres) akan dilaksanakan terlebih dahulu, diikuti oleh pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah) dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan bahwa beban teknis yang terlalu berat pada penyelenggara, serta tingginya tekanan waktu dan logistik, menyebabkan kualitas demokrasi mengalami penurunan.

Selain itu, partai politik dipaksa bersikap pragmatis dan lebih memilih calon berdasarkan popularitas daripada kapasitas atau ideologi.

Kanisius Jehabut berharap agar pemerintah dan DPR segera menyusun aturan transisi yang adil dan demokratis, baik untuk masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD hasil Pemilu 2024.

“Yang paling penting adalah tidak mengabaikan konstitusi. Proses demokrasi harus berjalan secara tertib, berkeadilan, dan tetap menjaga kepercayaan rakyat,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa segala perubahan yang menyangkut sistem demokrasi seharusnya dilakukan dengan transparan, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan berpijak pada semangat memperkuat kelembagaan politik.