LABUANBAJOVOICE.COM — Panitia Penyelenggara Komodo Waterfront Festival 2025 (KWF) secara resmi menyampaikan permohonan maaf terbuka atas inisiasi pementasan “Legenda Putri Komodo” dalam rangkaian acara festival tersebut.

Keputusan ini diambil setelah munculnya kekhawatiran dan keberatan dari masyarakat adat Desa Komodo terhadap kemungkinan terjadinya salah interpretasi atas kisah budaya yang sangat sakral bagi warga setempat.

Dalam pernyataannya, panitia menegaskan bahwa keputusan membatalkan pementasan Broadway “Legenda Putri Komodo” merupakan langkah tegas dan penuh tanggung jawab moral untuk menjaga kehormatan, kemurnian, dan nilai-nilai budaya masyarakat Pulau Komodo dan sekitarnya.

“Kami memahami bahwa cerita rakyat dan nilai-nilai budaya Komodo merupakan warisan sejarah yang harus dijaga keasliannya serta dihormati. Kami juga menyadari adanya kekhawatiran masyarakat adat terhadap kemungkinan salah interpretasi atas cerita yang diangkat dalam pagelaran tersebut,” demikian pernyataan resmi panitia Komodo Waterfront Festival 2025, Jumat (31/10/2025).

Ketua Panitia Komodo Waterfront Festival 2025, Evan, menegaskan bahwa festival tersebut sejak awal diselenggarakan bukan untuk kepentingan komersial, melainkan sebagai ruang untuk mengangkat kearifan lokal, kekayaan alam, dan budaya Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Manggarai Barat, ke kancah nasional dan dunia.

“Festival ini kami selenggarakan bertujuan untuk mengangkat kearifan lokal, kekayaan alam, dan budaya di NTT dan Manggarai Barat khususnya kepada masyarakat Indonesia dan dunia, bukan untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan,” tegas Evan.

Lebih lanjut ia katakan, pihaknya berkomitmen untuk memastikan setiap karya yang ditampilkan tetap sejalan dengan nilai-nilai budaya dan adat yang dimiliki masyarakat setempat.

Sebagai tindak lanjut atas polemik yang muncul, panitia berkomitmen memperkuat komunikasi dan kemitraan dengan masyarakat adat lokal, terutama dalam proses kurasi dan pementasan seni budaya yang akan ditampilkan pada kegiatan mendatang.

Panitia juga berencana membuka ruang kolaborasi yang lebih luas bagi masyarakat lokal — mulai dari posisi penasihat budaya dan adat, penampil seni tradisional, hingga tim kreatif — agar setiap karya yang lahir benar-benar mencerminkan pemahaman dan penghormatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Pulau Komodo.

“Kami menegaskan bahwa langkah ini bukan akhir dari kreativitas, melainkan awal dari proses kolaborasi yang lebih otentik, bermartabat, dan berakar pada nilai-nilai masyarakat lokal,” lanjut Evan.

Komodo Waterfront Festival tetap akan menjadi ruang selebrasi budaya dan ekologi di Manggarai Barat yang mengedepankan semangat penghormatan, kemitraan, dan keberlanjutan.

Penyelenggara bertekad menjaga agar setiap agenda dan karya seni yang dihadirkan tidak hanya menarik secara estetika, tetapi juga memiliki nilai edukatif dan spiritual yang sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.

Dengan langkah korektif ini, panitia berharap KWF menjadi contoh praktik terbaik festival budaya yang menghormati kearifan lokal, melibatkan masyarakat adat sebagai subjek utama, dan mengedepankan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan di kawasan super prioritas Labuan Bajo.**