Ngopi

Labuan Bajo Milik Kita, Tanggung Jawab Kita: Tata Kelola yang Profesional untuk Pariwisata Berkelanjutan

Penulis: Yuvensius Darung | Praktisi Hospitality | Ketua Bidang Hotel PHRI BPC Manggarai Barat

LABUANBAJOVOICE.COM – Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas pariwisata Indonesia tengah dirusak secara perlahan oleh satu hal yang kerap luput dari perhatian: menjamurnya travel agen tanpa izin resmi, tanpa kantor, dan tanpa tanggung jawab. Mereka bermodalkan website, media sosial, dan penawaran harga murah untuk menjual mimpi perjalanan ke Komodo namun pada akhirnya, seringkali menjadi mimpi buruk bagi para wisatawan.

Kasus Gratio Tour yang menelantarkan 20 wisatawan domestik karena gagal membayar sewa kapal menjadi bukti nyata bahwa sistem kita bocor. Bahkan Kepala Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif dan Kebudayaan Manggarai Barat, Stefanus Jemsifori, mengakui bahwa banyak agen yang beroperasi tanpa kantor resmi di Labuan Bajo, sehingga menyulitkan pengawasan (sumber: detikbali, 2025/06/05).

Pertanyaannya: Sampai kapan kita membiarkan kebebasan ini tanpa regulasi yang jelas?. Kenapa ini masalah serius?
1. Ketiadaan Kantor = Ketiadaan Tanggung Jawab

Dalam tata kelola destinasi berstandar internasional, keberadaan kantor fisik bukan hanya formalitas, tapi bagian dari accountability. Di Eropa, regulasi EU Package Travel Directive 2015/2302/EU mewajibkan setiap agen perjalanan yang menjual destinasi di negara anggota harus memiliki domisili resmi, jaminan perlindungan konsumen, dan lisensi usaha. Tanpa itu, mereka tidak boleh beroperasi.

Seperti yang ditegaskan oleh Prof. Harold Goodwin, pendiri Responsible Tourism Partnership, “A responsible tourism business must be visible, accessible, and locally accountable. No address means no answerability, and that’s where exploitation begins.(” Bisnis pariwisata yang bertanggung jawab harus terlihat, mudah di akses, dan bertanggung jawab secara lokal. Tanpa alamat berarti tanpa tanggung jawab, dan di sanalah exploitasi dimulai. “).

2. Minimnya Regulasi Digital

Di Indonesia, Permenparekraf No. 10 Tahun 2018  tentang Standar Usaha Biro Perjalanan Wisata mengatur bahwa biro harus memiliki:
a. Izin Usaha (TDUP/SIUP);
b. Kantor Tetap;
c. Pegawai Profesional.

Namun semua ini bisa dengan mudah dilompati oleh agen “digital” yang bersembunyi di balik akun Instagram.

Hal ini senada dengan pandangan Dr. Sarah Nichollas  (Michigan State University) yang menulis dalam jurnal Tourism Management:
“Governments must catch up with digital innovation. The tourism regulatory environment must evolve from licensing physical offices to monitoring and verifying digital service legitimacy.” (“Pemerintah harus mengejar ketertinggalan terhadap inovasi digital. Regulasi pariwisata harus berevolusi dari sekedar memberikan izin kantor fisik menjadi sistem yang memantau dan memverifikasi keabsahan layanan digital.”)

3. Reputasi Destinasi Jadi Taruhan

Menurut UNWTO (World Tourism Organization), trustworthiness (kepercayaan) adalah salah satu indikator utama dalam destination competitiveness. Sekali wisatawan merasa ditipu, yang rusak bukan agen, tapi nama Labuan Bajo secara keseluruhan. Mereka akan menulis di TripAdvisor, Google Review, dan Instagram bahwa Labuan Bajo “tidak aman.”

𝗦𝘁𝗮𝗻𝗱𝗮𝗿 𝗜𝗻𝘁𝗲𝗿𝗻𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹 𝗕𝗶𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗟𝗮𝗶𝗻

• 𝗝𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗔𝘀𝘀𝗼𝗰𝗶𝗮𝘁𝗶𝗼𝗻 𝗼𝗳 𝗧𝗿𝗮𝘃𝗲𝗹 𝗔𝗴𝗲𝗻𝘁𝘀 (JATA) mewajibkan semua anggotanya memiliki kantor operasional yang dapat diaudit dan menyetor dana travel guarantee untuk memberikan kompensasi bila gagal melayani.
• 𝗔𝗦𝗧𝗔 (𝗔𝗺𝗲𝗿𝗶𝗰𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗰𝗶𝗲𝘁𝘆 𝗼𝗳 𝗧𝗿𝗮𝘃𝗲𝗹 𝗔𝗱𝘃𝗶𝘀𝗼𝗿𝘀) mewajibkan semua travel advisor teregistrasi dan memiliki tanggung jawab hukum serta kontrak tertulis dengan konsumen.
• 𝗦𝗶𝗻𝗴𝗮𝗽𝗼𝗿𝗲 𝗧𝗼𝘂𝗿𝗶𝘀𝗺 𝗕𝗼𝗮𝗿𝗱  (STB) menerapkan Travel Agent License dan hanya memberi izin pada agen yang bisa membuktikan:
1. Modal operasional minim;
2. Kantor tetap dan legalitas perusahaan;
3. Asuransi pertanggungjawaban perjalanan.

Jika Labuan Bajo ingin sekelas destinasi global, maka standar ini bukan pilihan, tapi kebutuhan mendesak.

Dalam paparan Prof. Geoffrey Wall 𝗣𝗿𝗼𝗳. (University of Waterloo), seorang pakar tata kelola pariwisata global, disebutkan:
Successful destinations are those that institutionalize regulation before failure, not after damage is done. Laissez-faire tourism always backfires.” (“Destinasi yang sukses adalah mereka yang melembagakan regulasi sebelum terjadi kegagalan, bukan setelah kerusakan terjadi. Pariwisata yang dibiarkan bebas tanpa kendali pasti akan membawa dampak buruk”).

𝗦𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗞𝗼𝗻𝗸𝗿𝗲𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗻𝗱𝗲𝘀𝗮𝗸
1 . Perbup Wajib Kantor Lokal

Diperlukan segera Peraturan Bupati yang mewajibkan semua agen wisata yang menjual atau mengoperasikan produk wisata Labuan Bajo untuk memiliki kantor resmi di wilayah Manggarai Barat. Tanpa kantor = ilegal.

𝟮. 𝗪𝗵𝗶𝘁𝗲𝗹𝗶𝘀𝘁 𝗔𝗴𝗲𝗻 𝗥𝗲𝘀𝗺𝗶 𝗱𝗶 𝗪𝗲𝗯𝘀𝗶𝘁𝗲 𝗗𝗶𝗻𝗮𝘀 𝗣𝗮𝗿𝗶𝘄𝗶𝘀𝗮𝘁𝗮

Buat portal publik dengan daftar resmi travel agen terverifikasi. Model ini sukses diterapkan oleh Tourism Australia dan Thailand Trusted Partner Program. Wisatawan akan merasa aman memilih dari daftar yang dikurasi pemerintah daerah.

𝟯. 𝗦𝗮𝘁𝗴𝗮𝘀 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗧𝗿𝗮𝘃𝗲𝗹 𝗔𝗴𝗲𝗻𝘁 𝗜𝗹𝗲𝗴𝗮𝗹

Libatkan kepolisian, dinas pariwisata, asosiasi (ASITA/PHRI), dan tokoh industri untuk membentuk tim monitoring. Setiap pelanggaran harus ditindak cepat—baik lewat teguran administratif maupun sanksi pidana ringan (Pasal 378 KUHP: penipuan).

4. Edukasi Digital untuk 𝗪𝗶𝘀𝗮𝘁𝗮𝘄𝗮𝗻

Kampanye digital: “Hati-Hati Travel Agen Tanpa Jejak”, “Pilih yang Legal, Wisata Jadi Aman”.
Perlu disebarluaskan melalui media sosial, bandara, pelabuhan, hingga hotel.

𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗦𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴  𝗗𝗶𝘂𝗷𝗶

“Sebuah destinasi tidak akan dihancurkan oleh wisatawan, tetapi oleh pengelolaannya sendiri yang lalai”.

Labuan Bajo bukan sekadar tempat indah. Ia adalah simbol Indonesia di mata dunia. Sudah saatnya kita berpihak pada integritas, bukan pada kebebasan yang tanpa tanggung jawab. Travel agent tanpa kantor dan izin adalah wajah tak bertuan dari kehancuran reputasi.
Dan jika kita tidak bertindak hari ini, kita akan dikenang sebagai mereka yang membiarkan Labuan Bajo dijual oleh mereka yang bahkan tidak tinggal di sini.

𝗥𝗲𝗳𝗲𝗿𝗲𝗻𝘀𝗶:
• UNWTO (2023): Measuring Competitiveness in Tourism Destinations
• OECD Tourism Trends and Policies (2022)
• EU Package Travel Directive 2015/2302
• Singapore Tourism Board: Travel Agent Licensing Requirement (2024)
• ASTA Code of Ethics (2023)
• JATA Guidelines on Travel Guarantee (2022)
• Prof. Harold Goodwin, Responsible Tourism Partnership
• Dr. Sarah Nicholls, Tourism Management Journal
• Prof. Geoffrey Wall, Tourism Governance & Development Studies

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://t.me/labuanbajovoice
Back to top button
error: Content is protected !!