Ahli Hukum Agraria dan Tanah Adat, Prof. Farida: Tanah Ulayat yang Telah Diserahkan Fungsionaris Adat tidak Bisa Dibatalkan Sepihak
Sidang tambahan sengketa Tanah Karangan dan Golo Karanga di Labuan Bajo

LABUANBAJOVOICE.COM | Tanah ulayat yang telah diserahkan oleh fungsionaris adat dan diterima seseorang secara individu, maka tanah yang sudah diserahkan tersebut tidak bisa dibatalkan secara sepihak.
“Apabila tanah ulayat diberikan oleh fungsionaris adat dan di terima seseorang secara individu maka itu tidak bisa di batalkan secara sepihak oleh siapapun termaksud fungsionaris adat,” terang Prof Dr. Farida Patittingi, selaku ahli Hukum Agraria dan Tanah Adat dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo pada saat sidang pemeriksaan tambahan, Senin (03/02/2025).
Sidang pemeriksaan tambahan pada perkara banding Nomor; 1/PDT/2025/PT KPG atas sengketa tanah seluas 11 Hektar tanah Karangan dan Golo Karanga yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sengketa tanah tersebut antara pihak ahli waris almarhum Nikolaus Naput – Erwin Kadiman Santoso (Pembanding) melawan Muhamad Rudini (Terbanding) ini sebelumnya telah didaftarkan di PN Labuan Bajo sejak 5 Januari 2024.
Dimana salah satu alat bukti yang digunakan pihak Terbanding adalah Surat Pembatalan pemberian tanah oleh Fungsionaris Adat Nggorang tertanggal 17 Januari 1998. Dalam surat itu terdapat empat (4) orang yang bertanda tangan untuk mengesahkan dokumen itu yaitu Ishaka – Haku Mustafa selaku Fungsionaris Adat Nggorang, Yoseph Latif selaku Lurah Labuan Bajo serta Yos Vins Ndahur selaku Camat Komodo.
Terhadap alat bukti utama yang diajukan pihak Rudini, PN Labuan Bajo pun mengabulkan dan memenangkan gugatan Terbanding pada putusan sidang 23 Oktober 2024 lalu. Namun demikian, pihak ahli waris almarhum Nikolaus Naput dan Erwin Santosa Kadiman selaku Tergugat tidak tinggal diam terhadap keputusan tersebut. Pada November 2024, mereka melakukan banding di Pengadilan Tinggi Kupang.
Pengadilan Tinggi Kupang pun mengabulkan permohonan kuasa hukum pihak Keluarga Nikolaus Naput dan Erwin Santosa Kadiman yang tertuang dalam putusan sela tertanggal 10 Januari 2025. Permohonan tersebut telah didaftarkan sebagai Perkara Nomor 1/Pdt.G/2025/PT KPG pada 6 Januari 2025, dan diizinkan oleh hukum dengan alasan adanya kebutuhan mendesak untuk pemeriksaan tambahan.
Saat sidang berlangsung, saksi ahli Prof. Farida secara gamblang memaparkan pendapatnya baik lisan maupun tertulis sesuai keahliannya dibidang hukum agraria. Ia menyebut tidak ada pembatalan penyerahan tanah adat secara sepihak dan itu tidak mungkin. Sehingga ia meragukan keabsahan surat tersebut.
“Jadi kalau suatu bidang tanah sudah lepas dari lingkungan hak ulayat dalam suatu penyerahan menjadi hak pribadi, sepanjang tanah itu di manfaatkan dan dijaga maka tanah itu akan menjadi hak yang bersangkutan,” tegas Prof Farida.
Farida yang juga Dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu memastikan, seseorang yang telah menerima tanah itu pun dapat melakukan perbuatan hukum, apakah ia menjual tanah itu atau menghibahkan itu menjadi hanya dia.
“Selain itu, dalam hukum adat pun demikian ada struktur kepengurusan yang terdiri dari masyarakat itu sendiri namun yang berhak melakukan pemberian tanah ialah pemimpin tertinggi dalam,” tandasnya.
Demikian penegasan Farida, Sapta Dwikardana, selaku ahli Certified Master Handwriting analisis pun menilai faliditas terhadap dokumen pembatalan pemberian tanah tertanggal tertanggal 17 Januari 1998 itu.
Menurutnya dokumen pembatalan penyerahan tanah kepada Nassar Bin Haji Supu oleh Haji Ishaka selaku Fungsionaris Adat Nggorang telah kehilangan nilai.
“Itu berdasarkan analisa Scientific Signature Verification 4 spesimen tanda tangan orang yang tertera dalam surat yang hasilnya tidak identik, sehingga kehilangan nilai karena eksekusinya dilakukan oleh orang lain,” papar Sapta selaku Assessor Puslabfor Mabes Polri tersebut.
Verifikasi yang ia lakukan menggunakan 5 sampai 6 dokumen pembanding untuk setiap spesimen tanda tangan. Hal itu merujuk Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 10 Tahun 2009.
“Tanda tangan sama sekali tidak identik artinya si peniru kurang terlatih,” tutupnya. *