PariwisataPolitik

Pariwisata Manggarai Barat, DPRD Kanisius: Labuan Bajo Menjadi Tempat Buangan, Bukan Penerima Manfaat

Anggota Fraksi Gerindra DPRD Manggarai Barat, Kanisius Jehabut, Kritik Keras Sentralisasi Pariwisata yang Dinilai Eksploitatif dan Mengabaikan Hak Masyarakat Lokal

LABUANBAJOVOICE.COM – Di balik popularitasnya sebagai destinasi super prioritas dan wajah pariwisata Indonesia di mata dunia, Labuan Bajo menyimpan luka yang dalam. Anggota Fraksi Gerindra DPRD Manggarai Barat, Kanisius Jehabut, menyuarakan keresahan masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan di tengah gencarnya pembangunan industri pariwisata yang dikendalikan penuh oleh pusat.

“Labuan Bajo hari ini semakin kehilangan martabatnya. Yang kami lihat bukan kemajuan, melainkan bentuk baru kolonialisme. Ini eksploitasi berkedok pembangunan,” tegas Kanisius dalam keterangannya, Jumat (11/4).

Menurut politisi asal Dapil 1 itu, pembangunan infrastruktur seperti hotel, pelabuhan apung, dan kapal wisata di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) serta pesisir Labuan Bajo, tidak memberi manfaat langsung kepada masyarakat maupun pemerintah daerah.

“Siapa yang menikmati hasil dari pariwisata ini? Bukan rakyat Labuan Bajo. Bukan juga Pemkab Manggarai Barat. Yang kami terima hanya sampah, pencemaran laut, kemacetan, dan harga tanah yang makin menggila. Warga lokal perlahan terusir dari tanahnya sendiri,” kata Kanisius dengan nada prihatin.

Kanisius menyebut, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, kewenangan daerah atas kawasan konservasi seperti TNK dan wilayah pesisir dicabut sepenuhnya dan diambil alih oleh pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah kehilangan kontrol bahkan untuk urusan retribusi wisata.

“Satu rupiah pun dari tiket masuk TNK tidak masuk ke kas daerah. Tapi semua risiko kami yang tanggung. Kami hanya jadi penonton di rumah sendiri,” tambahnya.

Ia juga mengkritik keras pembangunan pelabuhan apung yang dilakukan di atas terumbu karang, tanpa izin atau konsultasi dengan pemda maupun masyarakat adat.

“Pemda tak punya kuasa mengatur kuota kapal, apalagi menolak proyek yang merusak. Ini bukan pembangunan, ini penjajahan gaya baru,” tegasnya lagi.

Regulasi Dipelintir, Investor Diuntungkan

Kanisius mengungkapkan kekhawatirannya terhadap bagaimana aturan perundang-undangan dijadikan alat legalisasi eksploitasi. Menurutnya, meski UU No. 27 Tahun 2007 melarang pembangunan di sepadan pantai, aturan turunan seperti PP No. 21 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2021 justru memberikan celah bagi investor.

“Dengan bermodal KKPRL dan AMDAL, mereka bisa bangun hotel, resort, bahkan pelabuhan pribadi. Ini bentuk legalisasi kerusakan,” ujarnya.

Ia menyesalkan bahwa hukum kini lebih berpihak pada kepentingan modal ketimbang menjaga keadilan ekologis dan sosial.

Lebih jauh, Kanisius menyoroti situasi di Pulau Komodo, di mana masyarakat adat mulai kehilangan akses terhadap tanah dan laut mereka sendiri karena telah dikapling menjadi kawasan investasi.

“Binatang komodo dikasih ruang hidup, tapi manusia yang hidup berdampingan dengannya selama ratusan tahun justru dikekang. Masyarakat adat tidak bisa lagi berkebun, melaut, bahkan keluar rumah tanpa takut diminta izin,” ungkapnya.

Ia menilai konservasi yang digaungkan negara sangat paradoksal. Di satu sisi menjaga satwa langka, tapi mengabaikan keberlangsungan hidup manusia yang merawat satwa itu selama ini.

“Setiap tahun ada warga digigit komodo, tapi fasilitas kesehatan di pulau nihil. Sekolah juga tak tersedia. Anak-anak Komodo harus ke Labuan Bajo, kos sendiri, hanya demi bisa sekolah. Sementara turis asing bebas masuk dengan kapal mewah,” katanya.

Tuntutan dan Peringatan: Rakyat Bisa Melawan

Di akhir pernyataannya, Kanisius menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah pusat:
1. Penghentian pembangunan di pesisir dan sepadan pantai yang merusak ekosistem;
2. Kerja sama resmi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dalam pengelolaan konservasi dan pariwisata;
3. Distribusi pendapatan sektor pariwisata secara adil kepada daerah;
4. Perlindungan hukum atas hak masyarakat adat dan pesisir;
5. Penyediaan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan di wilayah konservasi.

“Jika suara kami terus diabaikan, jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka memilih untuk melawan. Ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama akan berubah menjadi perlawanan,” pungkas Kanisius.

Labuan Bajo dan Pulau Komodo mungkin tampak indah di mata dunia, namun di balik keindahannya tersimpan ironi, ketimpangan, dan jeritan rakyat yang tak terdengar. Kanisius Jehabut bukan hanya bicara atas nama anggota DPRD, tapi atas nama warga Manggarai Barat yang ingin ruang hidup mereka dihormati, bukan dikorbankan.

“Labuan Bajo bukan tempat buangan. Pulau Komodo bukan kandang konservasi semu. Keduanya adalah tanah rakyat, dan kami akan menjaganya dengan segala daya yang kami punya.” tutupnya.

Penulis: Hamid

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://t.me/labuanbajovoice
Back to top button
error: Content is protected !!